Pages

Friday, September 23, 2011

Suatu Hari di Mahakam

Hari kelam itu gue lihat dengan mata gue sendiri, ketika anak cowok bentrokan dengan wartawan. Gue ada di sekolah dari mulai bentrok hingga selesai. Bahkan gue sempet nolongin cowok-cowok yang terluka dari keganasan wartawan. Apa pemicunya? Siapa yang memicu? Mengapa terpicu? Hmm, disini seperti lempar batu sembunyi tangan.

Senin (19/09/2011) saat gue dan teman-teman gue lagi ulangan awal semester. Media sudah banyak berdatangan baik itu media obline, cetak, dan elektronik. Mereka semua datang untuk menemani teman seprofesi mereka, Oktaviardi wartawan Trans7 untuk meminta pertanggung jawaban atas perampasan kaset yang dilakukan oleh siswa saat Jumat malam (16/09/2011) setelah terjadi tawuran antara SMA 6 Jakarta dengan SMA 70 Jakarta.

Disini menurut gue sampai sekarang tidak jelas apakah yang merampas itu anak 6. Dari luar gerbang, wartawan sudah berbicara kepada kami dengan cara meneriaki kata-kata yang seharusnya tidak boleh dan tidak usah dikatakan saat istirahat. Guru-guru pun sudah mengingatkan kami agar jangan mudah terprovokasi.

Konflik dimulai ketika kami pulang sekolah. Pemicunya ketika seorang guru Geografi kami terkena lemparan mangkok berisi soto. Sempat dipaksa henti oleh Polisi yang berdatangan dan keadaan mulai lenggang. Gue memberanikan diri keluar untuk melihat keadaan. Diluar, gue melihat mobil temen gue, Nicole penyok dan penuh baret di body sebelah kiri yang diparkir tepat di depan sekolah. Entah siapa yang melakukan, kemudian gue kembali masuk ke sekolah. Enggak tahu kenapa hari itu gue males untuk pulang yang mestinya gue belajar untuk ulangan besok.

Beberapa saat kemudian, perwakilan dari media disuruh masuk ke ruang Bu KD untuk melakukan mediasi. Gue ngeliat sekitar 10 orang masuk dengan ID Pers tergantung di leher mereka. Saat itu gue lagi makan di meja piket. Gue melihat raut muka mereka semua dengan penuh emosi. Para juru tulis yang tidak ikut masuk, berada di depan gerbang dan meneriakkan "Mana kepala sekolahnya! Jangan diam saja! Keluar dong! Turunin aja kepala sekolahnya! Kita bisa lapor ke Mendiknas." Makanan yang belum habis pun gue tinggal dan ketika itu juga gue ingat kata-kata Bu KD "Saya berdiri disini sebagai Kepala Sekolah  atas UU Permendiknas yang berlaku. Jika yang atas menyuruh saya turun, saya akan turun." Kata-kata yang sangat ngena buat siapa pun yang mendengarnya.

Tiba-tiba terjadi bentrok lagi dengan pemicu yang tidak jelas apa sebabnya. Seluruh perwakilan media yang melakukan mediasi di ruang Bu KD keluar semua. Di depan gerbang, tepatnya di dekat pos satpam, salah seorang temen gue, Disha didorong oleh salah seorang wartawan yang terburu-buru hendak keluar. Karena kaget, dai berteriak "Santai aja dong, Pak. Jangan beraninya sama cewek." Wartawan yang sudah emosi membalas, "Kamu enggak tau apa-apa, jangan ikut campur." Pertikaian di dalam gerbang tidak bisa dielakkan lagi, tapi bisa dilerai oleh polisi dengan cepat.

Ada seorang pers dari Media Indonesia, yang memanjat pos satpam. Kami semua menyuruh turun dari tapi dia tidak mau. Sampai seorang guru meneriakkan, "Hei kamu turun! Engga punya etika..." Dari atas pos satpam, pers tersebut berbicara sambil menunjuk guru-guru kami dan melotot, "Bapak jangan ngajarin saya etika, ajarin aja anak-anak bapak yang diluar." Menurut gue, guru kami benar karena dia main manjat saja rumah kedua kami. Penghuni SMA 6 aja ga berani manjat-manjat tanpa izin. Pers tersebut dengan berani manjat untuk merekam dari atas. Di media ada 2 versi pernyataan kenapa dia manjat keatas pos satpam. Di media yang satu dia mengatakan untuk mengambil foto dari angle yang pas. Media lain, dia mengatakan untuk melindungi diri dari "keganasan" anak SMA di bawah. Seharusnya sebagai seorang yang menjadi korban, harus konsisten dengan pernyataan sendiri. Enggak cuma wartawan Media Indonesia, tapi semua orang harus konsisten.

Setelah beberapa menit, akhirnya ia turun dengan dikawal 2 orang polisi dengan berkata, " Mereka duluan, Pak yang mancing-mancing saya. Saya jadi emosi."

Keadaan sempat kondusif sejenak dengan cowok duduk di dan menunggu di taman depan sekolah serta pers yang berkeliaran di lingkungan sekolah. Beberapa dari polsek dan polres harus masuk ke ruangan Bu KD. Gue menghituung waktu dan mereka cukup lama berada di lingkungan Bu KD. Mereka juga membawa satu perwakilan pers. Kemudian polisi-polisi tersebut keluar dari gerbang dan langsung dikerubuti wartawan. Polisi mengatakan bahwa masalah perampasan kaset dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan menyuruh wartawan untuk membubarkan diri. Namun, mereka masih tetap berada disitu.

Beberapa dari teman gue bermaksud untuk mengambil motor yang masih terparkir di SMA 6. Saat Gema, salah satu teman gue keluar dari gerbang, dia ditendang oleh seorang wartawan. Gue lihat jelas, Gema dikeroyok oleh wartawan. Polisi segera memisahkan dan gerbang sekolah langsung dikunci oleh satpam. Posisi gue saat itu berada tepat di dalam gerbang. "Pak, buka gerbangnya! Itu temen saya dikeroyok, Pak. Itu temen saya!' Acil berteriak dan mencoba membuka pintu gerbang, tapi sia-sia. Gema dipaksa turun oleh polisi dan masuk sekolah. Motor Gema dibawa masuk ke 6 lewat pintu belakang oleh Ridwan, pegawai koperasi.

Kondisi kembali tenang dan siswa yang masih ada di dalam dipersilahkan untuk pulang dengan dikawal polisi. Gue belom mau pulang karena Eci masih tambahan pelajaran di dalam. Gue berada di kantin bersama Rian dan Nanda. Gue melihat-lihat kondisi luar dari dalam kantin. Beberapa wartawan lagi merekam video saat mediasi tadi dari kamera seorang wartawan lainnya. Satu meter sebelah kanan gue ada Kae. Tiba-tiba wartawan yang diluar manggil Kae, 'Ehh, sini dong keluar," sambil melambaikan tangan ke Kae. Gue kira Kae bakal diem aja, tapi dia jawab dengan santainya, 'Enggak ah, lo aja yang kesini." Situasi saat itu sudah bisa dikatakan sudah mulai membaik. Cowo-cowo juga sudah di Taman Sampit semua. Syukurlah.

Ternyata, cowo-cowo datang lagi untuk mengambil motor karena masih banyak motor di parkiran. Ketika Ijul, mengambil motor (motor diparkir di luar gerbang), gue denger Ijul ditampar menggunakan helm oleh salah satu wartawan hingga akhirnya berdarah. Ijul dibawa masuk oleh Reil untuk dibersihkan darahnya dan ditolong. Gue panik dan membantu Ijul. darah terus mengalir, hingga celana putihnya berubah warna menjadi merah. Pipinya robek, bibirnya jontor. Diluar semakin rusuh.

Ga lama kemudian, korban lain menyusul. Acil datang dengan darah mimisan.Kata Acil, dia ditonjok hidungnya. Dimas datang dengan dibopong beberapa cowok dengan dahinya yang memar dan mebiru, perutnya sakit. Katanya, dia dikeroyok 3 orang wartawan karena dia melihat ada 6 kaki. Guntur datang dengan mata yang bengep. Katanya dia kena termos melayang.Iradat juga datang dengan dahinya yang robek, walaupun kecil. Bu KD datang untuk membantu mengobati siswa yang menjadi korban. "Tenang, nak kalian dilindungi hukum." Salut melihat Bu KD, mengahadapi masalah sebesar ini dengan tetap kuat dan tenang, menghadapi dengan senyuman.

Tiba-tiba seorang perwakilan pers masuk dan meminta pertanggung jawaban Bu KD terhadapa teman-teman wartawan yang luka-luka.Padahal di depannya sudah jelas juga ada anak yang terluka-luka.

Gue melihat keluar, anak-anak cowok dinasehati Bu Titin agar tidak mudah terprovokasi. Mereka diantar pulang sampai perbatasan Jakarta Selatan. Gue juga ikut pulang. Keadaan di luar sangat mencekam. Mungkin keadaan seperti inilah saat kerusuhan 1998 terjadi.

Di kosan, gue ga tenang. Gue cuma memantau berita online dari laptop. Gue ngambil kesimpulan, media hanya memojokan SMA 6. Gue dapat SMS Gateway, bahwa besok kami diliburkan. Disini, gue merasa dirugikan karena kami sedang menghadapi ulangan menjadi libur. Gue dape info bahwa wartawan lagi menjadi stalker twitter.

Gue tetep memantau berita dari manapun, tetep sama. Mereka mengabarkan para wartawan yang menjadi korban. Padahal juga ada murid yang menjadi korban dan jumlahnya lebih banyak daripada mereka. Kemudian juga lokasi SMA 6 yang sering disebutkan di Bulungan. Inget ya, di Bulungan SMA 70, SMA 6 di Mahakam.

Gue disini nulis bukan untuk menjadi terkenal tapi meluruskan pandangan orang tentang SMA 6 Jakarta, mengembalikan citra 6 dengan segenap almamater walau tidak sepenuhnya. Dan intinya, gue hanya pelajar, bibit generasi penerus bangsa yang ingin belajar dengan tenang tanpa adanya konflik.

Maaf sebelumnya karena gue pribadi kecewa dengan pernyataan alumni SMA 6 anggota Komisi I DPR yang menyatakan tawuran SMA 6 dan SMA 70 adalah tradisi. Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata "tradisi" artinya, yang sudah dilestarikan. Tapi disini seluruh warga sekolah sudah mereduksi bahkan mencoba mengeleminasi tawuran tersebut. Karena tawuran merupakan perilaku yang primitif di zaman peradaban tinggi.

Together we build, together we can! Pray for Mahakam

Jakarta, 23 September 2011

05.06 WIB

Tannya Heryanto
Tr 003/09